Kamis, 28 Februari 2019

My Super Hero

Kemarin malam aku tidak bisa tidur. Perutku sakit, sepertinya asam lambungku naik dan membuat perutku amat sangat tidak nyaman. Mungkin aku kecapekan acara piknik kemarin. Aku baru sampai rumah jam 7 malam, dan baru mandi sekitar jam 9. Mas Arga sendiri baru sampai rumah pukul 11 malam, karena terjebak macet. Kasian. Pasti lelah sekali. Bahkan mas Arga sempat mimisan karena jet lag. Alhasil kami tidak sempat mengobrol dan bercerita tentang apa yang sudah kami lewati seharian seperti biasanya.

Dini hari aku terbangun kembali dengan keringat dingin. Berulang kali aku berganti posisi tidur, mencari posisi yang nyaman. Merasakan gerak-gerikku yang tidak seperti biasa, mas Arga terbangun. Melihatku kesakitan, dia memelukku dan bertanya ada apa. Dengan mata yang masih merah dia bergegas mengambilkan air minum dan mengoleskan minyak ke perut dan punggungku. Ya Allah aku manja sekali. Sungguh kasian melihat mas Arga sibuk mengurusku dengan mata yang merah seperti itu. Jadi, ketika dia menawarkan teh hangat setelahnya, aku menolak dan bilang hanya perlu peluk darinya, dan kembali tidur.

Aku terbangun tiap beberapa menit, dan tiap itu terjadi mas Arga mengelus kepalaku dan menenangkanku. Aku baru bisa tidur tenang setelah subuh datang.

Pagi harinya mas Arga terlihat capek sekali. Tidak seperti biasanya yang penuh semangat. Dia bertanya padaku haruskah dia berangkat siang ke kantor karena aku sakit. Bahkan setelah aku yakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa, dia masih berniat pulang sebentar menengokku saat istirahat siang nanti. Ya Allah, aku merasa jahat sekali.

Setelah mas Arga berangkat ke kantor, aku menangis. Seharusnya aku yang merawatnya dan menghilangkan rasa capeknya. Tapi yang ada aku makin menambah beban pikirannya. Aku merasa sangat tersentuh dengan perhatiannya. Tanpa nada marah sama sekali dia sabar menghadapi tingkahku semalam padahal aku tahu dia juga sakit. Sungguh aku sangat bersyukur memiliki suami seperti dia.

Allah baik sekali padaku. Alhamdulillah.

Rabu, 27 Februari 2019

Piknik

"Kita piknik yuk!.."

Begitulah ajakan mba Ana yang dengan antusias aku jawab semalam. Jadi hari ini, tumben sekali pagi-pagi aku sudah mandi dan berdandan. Rasanya kangen sekali pakai makeup. Haha.. Dulu tiap akhir pekan pasti aku pakai makeup, entah itu hanya sekedar untuk berjalan-jalan di mall, atau yang paling sering ikut kelas workshop di Jakarta. Sementara sekarang, mas Arga lebih suka aku dengan makeup tipis. Mentok cuma pakai bedak dan lipstik.

Dan berhubung pagi ini aku punya waktu siap-siap yang lumayan lama, aku keluarkan deh amunisi perang yang lama berdebu itu. Lumayan loh, bikin suasana hati tambah cerah.

Kali ini aku, bapak, ibu, mba Ana dan keponakanku Aisyah akan pergi ke Eling Bening, resort yang dilengkapi kolam renang, outbond dan playground di kota Semarang. Berhubung hari ini bukan akhir pekan, tempatnya sepi sehingga kami leluasa berjalan-jalan dan menikmati pemandangan Rawa Pening di bagian bawah.

Setelah puas mengantar Aisyah berlarian dan main di Playground, kami bertolak ke Kampung Rawa, restoran apung yang tak jauh dari situ. Untuk sampai ke restorannya, kami melalui jalur kolam ikan, dengan menggunakan rakit. Seru sekali.

Sudah lama aku tidak bepergian santai bersama keluarga seperti ini. Selama delapan tahun terakhir aku tinggal jauh dari rumah. Pulang pun cuma beberapa hari dan kadang habis karena reuni bersama teman lama. Dan karena acara hari ini aku sadar, liburan bersama keluarga itu penting sekali. 

Dekat bersama keluarga rasanya hangat dan nyaman. Bagi yang pernah merasakan jauh dari keluarga selama bertahun-tahun pasti mengerti. Dengan pengalaman hari ini, aku semakin ikhlas menjalani kehidupan baruku sekarang. Hidup dekat dengan keluarga tersayang. Alhamdulillah.

Sungguh Allah adalah dzat yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Selasa, 26 Februari 2019

Bunga Cantik Lain untuk Kami

Sore ini aku berkunjung ke makam Mbah Uti untuk pertama kalinya. Tanahnya masih merah, dan taburan bunganya pun masih segar. Mbah Uti disemayamkan tak jauh dari makam Mbah Kung yang lebih dulu berpulang.

Hari ini memang sibuk sekali. Para saudara dan tetangga berkumpul dan bersama-sama menyiapkan makanan. Ramai sekali. Kalau tidak ada acara khusus seperti ini, jarang sekali kami bisa berkumpul dan bercanda bersama. Anak-anak kecil berlarian dan main ayunan di halaman. Para bapak menyiapkan kursi dan perlengkapan acara. Sementara para ibu dan anak perempuan mereka berkutat di dapur dan atau sibuk mengerjakan urusan kardus berkat untuk tamu.

Alhamdulillah cuaca dari pagi cerah. Bahkan hingga selesai pengajian pukul setengah sepuluh malam tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Kursi tamu pun penuh, tak ada kursi kosong. Semua dilancarkan dan semoga doa-doa yang dipanjatkan bisa menjadi penolong Mbah Uti di kemudian hari.

Orang bilang jika kita kehilangan sesuatu dan ikhlas, Allah akan ganti dengan yang lain. Dan hari ini, tepat tujuh hari sepeninggal Mbah uti, cucu perempuan Mbah Uti, keponakanku, lahir. Benar-benar indah rencana Allah. Tidak perlu menunggu lama, keluarga besar kami mendapat titipan makhluk cantik sebagai pelipur lara.

Maha Besar Allah dengan segala rizkiNya.

Senin, 25 Februari 2019

Dalam Perjalanan Naik Bus Kudus - Jepara

Hari ini aku pulang Jepara lagi. Karena kebetulan mas Arga dinas ke luar kota lagi selama beberapa hari dan besok adalah hari pengajian terakhir untuk Mbah Uti.

Waktu masih menunjukkan pukul sebelas siang, saat aku sampai di terminal. Begitu naik bus aku langsung pilih bangku paling depan. Karena selain disini lebih nyaman bagiku, aku juga tak perlu repot berpindah tempat kalau-kalau ada penumpang yang hendak turun. Lagipula aku kan turun di pemberhentian terakhir.

Begitu sampai di terminal Jepara, aku langsung berpindah bus ke arah Mlonggo, kampung halamanku yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari kota. 

Pas sekali, saat itu jam setengah satu siang, saatnya anak-anak pulang sekolah. Saat aku melihat mereka, aku jadi teringat masa remajaku belasan tahun lalu. Sungguh sangat nostalgic.

Dua siswa SMP di belakangku sibuk bercerita tentang pelajaran olahraga pagi tadi. Sementara tiga siswi lainnya mengobrol cemas, membahas soal latihan try out yang sepertinya menakutkan. Dulu aku juga begitu, begitu berhadapan dengan ujian, hati dan pikiran tidak bisa tenang. Kemana-mana baca buku pelajaran. Dulu belum secanggih sekarang, yang cukup bawa e-book dan gadget. Tak perlu berat-berat bawa buku kemana-mana. Tapi justru ketidakpraktisan itulah yang ngangenin. Bangga sekali diriku kalau ingat dulu aku punya niat besar sekali untuk belajar.

Tak terasa belasan tahun sudah berlalu. Tapi kurasa niat belajarku masih tinggi, hanya berubah visi. Jika dulu tujuanku adalah lulus ujian, sekarang tujuanku adalah lulus menjadi istri dan wanita yang menginspirasi. Haha, tak apa kan berkhayal tinggi?

Aku bersyukur naik bus dan bertemu mereka siang ini. Aku seolah diingatkan bahwa belajar itu tak pandang usia. Bahwa sampai sekarang semangatku masih ada. Buktinya aku masih berusaha mengerjakan PR diary tiap malam. Haha..

Jadi, hal apa yang anda pelajari hari ini?

Minggu, 24 Februari 2019

Hujan Lebat di Balik Jendela

Siang ini hujan lebat sekali. Angin kencang sampai membuat jendela kamarku bergetar. Pemadaman listrik memperparah keadaan.

Terjebak di rumah tanpa listrik, membuatku bingung harus berbuat apa. Handphone-ku sudah mati sedari tadi karena kehabisan baterai. Dan aku tidak mood untuk melukis atau bermain clay dalam keadaan gelap seperti ini.

Di sudut kamar, mas Arga sibuk dengan laptopnya. Besok dia akan bertolak ke Makassar karena urusan kantor. Sepertinya dia masih perlu membuat beberapa perbaikan pada program yang akan dia bawa besok.

Hmm.. apa yang harus aku lakukan? pikirku. Kemudian perhatianku tertuju pada paket kecil yang tergeletak di atas meja. Oh iya, beberapa waktu lalu, teman baikku di kantor dulu mengirimkan sesuatu. Yaitu buku antologi cerpen hasil kolaborasinya dengan angkatan 14 FLP Bekasi. Ini momen yang pas untuk membacanya.

Begitu membukanya, ada catatan kecil yang dituliskan oleh Chipaw di dalamnya. Pesan manis dari teman sarapan muka bantalku setahun terakhir. Aku tersenyum. Chipaw hebat sekali, dalam kesibukannya ia masih sempat menulis bahkan menjadikan hasil karyanya menjadi buku seperti ini. Aku jadi semangat. Aku harus belajar lebih giat lagi agar bisa menghidupkan blogku lagi. Resolusiku tahun ini memang merubah blog ini dengan konsep baru yang lebih bermanfaat.

Kata sensei Jee Luvina, mentorku di program kelas menulis, membangun kebiasaan untuk menulis diary itu bagus sekali. Aku dituntut untuk mencurahkan emosiku agar perasaanku sampai ke pembaca. Belum lagi, aku harus menemukan hikmah dari kejadian-kejadian kecil di sekelilingku. Kalian tahu apa yang seru? Selain aku bisa menghabiskan waktu dengan kegiatan yang bermanfaat, menulis diary membuatku selalu bersyukur. Awalnya aku bingung mencari-cari hal apa yang memiliki hikmah di hari itu. Tapi sekarang aku jadi sadar, bahkan hujan deras yang mengurungku di rumah sekalipun punya hikmah besar dalam hidupku. Aku bisa meluangkan waktu membaca tulisan sahabatku, dan memiliki semangat baru untuk menulis.

Betapa rencana Allah itu baik adanya. Bahkan di setiap hal kecil di kehidupan kita semua. Benar?

Sabtu, 23 Februari 2019

One of My Gifted Morning

Pagiku buru-buru sekali. Sehabis sholat subuh aku dan mas Arga langsung bertolak ke Kudus. Semalam mas Arga menyusul ke Jepara sepulang dinas, untuk ikut acara tahlilan hari ketiga Mbah Uti. Masalahnya mas Arga masuk kerja di hari Sabtu, jadi kami harus bergegas agar dia tidak terlambat.

Kalau saja ini 3 tahun lalu, pasti tidak akan segugup ini. Adanya pabrik-pabrik baru di sekitar jalan raya penghubung Jepara-Kudus mengakibatkan kemacetan tiap pagi. Dan mengendarai mobil di jalan yang penuh dengan motor akan memakan waktu. Dan benar, meski ini hari Sabtu, jalanan penuh seperti biasa. Ini semua karena kami kecapekan setelah acara semalam, jadi kami bangun sedikit kesiangan. Alhasil pagiku sudah penuh pacuan adrenalin.

Sesampainya di rumah, mas Arga buru-buru mandi dan bersiap. Sambil menggigit kue lapis legit dia langsung pamit dan melaju motornya dengan kencang. Begitu rumah sepi, aku mulai menjalankan aktifitas seperti biasa, tapi begitu akan mengabari ibu bahwa kami sudah sampai, aku baru sadar, sepertinya handphoneku terbawa oleh mas Arga. 

Aku menggerutu. Harusnya pagi ini aku membaca ulang hasil kelas menulis semalam. Karena kesibukan acara, aku sama sekali belum membacanya. Aku kesal sekali. 

"Kenapa mas Arga  tidak mengecek ulang bawaannya sih.. What a bad day!!"

Aku membersihkan kamar sambil cemberut. Lalu perhatianku terhenti pada rangkaian bunga kering di atas meja. Bunga hadiah ulang tahun dari mas Arga yang sengaja aku keringkan.

Aku tersenyum.

"Selamat pagi bunga, kamu pasti tertawa melihat kelakuanku sedari tadi ya? Haha.."

Aku melihat koper mas Arga yang terbuka di tengah ruangan. Acak-acakan. Dia pasti terburu-buru kemarin dan langsung pergi ke Jepara tanpa sempat merapikan barangnya. Hatiku menghangat. Begitulah caranya mencintai keluargaku. Dan diriku tentunya.

Betapa harusnya aku bersyukur bahwa pagi ini kami dapat sampai di rumah tepat waktu. Mas Arga bahkan masih sempat makan kue yang diselipkan ibu ke dalam mobil. 

Maka untuk apa aku merusak pagiku yang dilimpahi rejekiNya?

Jumat, 22 Februari 2019

Fifth Day of 30 Days Diary Challenge

Hari ini gerah sekali. Dan sepertinya langit masih tidak rela melepaskan hujan untuk kami di bawah sini.

Setelah berbelanja beberapa bahan keperluan di swalayan, aku berhenti ke warung jajanan pinggir jalan. Kali ini aku memesan batagor kuah ekstra pedas dan segelas teh manis. 

Sambil makan aku sibuk berbalas whatsaap. Hari ini mas Arga pulang setelah 3 hari dinas ke Pontianak. Akhir-akhir ini dia sering ke luar kota. Lumayan lah.. itung-itung refreshing dia. Refreshing aku juga sih, soalnya aku jadi bisa lama di rumah Jepara.

Mas Arga pasti suka batagor kuah. Makanan kuah seperti ini kegemaran dia. Maklum, rasa-rasanya memang mirip bakso Malang, makanan khas kampung halamannya. Seingatku dia belum pernah sekalipun makan jajanan ini. Mungkin hari Minggu depan aku akan ajak dia kesini.

Hari ini adalah tepat dua bulan semenjak pernikahanku. Dan mas Arga pasti lupa. Untuk hal-hal sentimentil seperti ini memang perempuanlah yang lebih peka. Kadang keacuhannya inilah yang bikin gemas. Kalau aku ingatkan dia akan pasang muka bersalah dan bikin gemas. Itu lucu sekali. Persis seperti batagor kuah. Hangat dan membuat hati senang.

Kamis, 21 Februari 2019

The Fourth Day of 30 Days Diary Challenge

Dari dulu aku kurang nyaman dengan rumah sakit. Meski aku suka dengan bau karbol menyengat dan lampunya sangat terang, suasana rumah sakit bagiku selalu sendu.

Waktu SMP, aku bolak balik ke rumah sakit untuk check up penyakit flek yang aku derita. Tiap Senin jam 9 pagi, dua minggu sekali, aku mengisi form ijin keluar sekolah, naik angkot dari depan gerbang dan berangkat ke rumah sakit sendirian. Selama 9 bulan kegiatan itu jadi rutinitas rutin aku dan itulah sepertinya alasan mengapa aku kurang suka dengan rumah sakit.

Rumah sakit itu dingin, bau obat, banyak orang yang berlarian atau terlihat lesu di depan kamar inap. Tapi aku juga melihat banyak anggota keluarga yang saling menguatkan, memberi semangat dan itu menghangatkan dinginnya rumah sakit. Tapi, aku sendirian.

Malam ini aku menjenguk salah satu keponakanku yang sakit. Dokter bilang terkena infeksi virus. Meski sudah baikan, wajahnya masih sayu. Aku maklum, karena nenek kami, Mbah Uti baru saja meninggal dan dia tidak bisa pulang untuk mengajikan. Ya, kami masih berkabung. Semoga Allah selalu memberi kita kekuatan dan selalu melindungi kita dari keburukan.

Rabu, 20 Februari 2019

Third Story of 30 Days Diary Challenge

"Assalamualaikum, Rin.. mba menyampaikan kabar, kalau Mbah Uti baru saja meninggal." 
Telfon singkat dari mba Ana siang tadi masih terdengar jelas di telingaku. Dengan badan yang masih gemetar, aku langsung pulang ke Jepara. Alhamdulillah meski tidak sempat melihat wajah Mbah Uti sebelum dimandikan dan dikafani,baku masih sempat mengantar Mbah Uti berangkat ke peristirahatan terakhirnya.

Akhirnya disinilah aku, duduk menepi di barisan belakang orang-orang yang membacakan tahlil dan surat Yasin untuk Mbah Uti. Mataku menelusur memandang kursi teras yang biasa diduduki beliau. Tepat sebulan lalu aku masih mencium tangan Mbah Uti disana. Mbah Uti duduk sementara cucu-cucunya duduk melingkar di bawahnya. Mbah Uti memandang kami, sambil memakan bapia keju, oleh-olehku dari Jogjakarta. Kala itu aku sama sekali tidak berfikir kalau itulah saat terakhirku bisa melihat Mbah Uti.

Saat aku menulis ini, aku merinding.
Betapa usia adalah rahasia Allah yang tidak bisa ditebak kapan berakhirnya.

Selasa, 19 Februari 2019

Second Day of 30 Days Diary Challenge

Bulan malam ini terhalang awan. Hanya terlihat semburat sinar tipis, seolah sengaja sembunyi dari kami. Serangga-serangga kecil tampak sibuk mengitari lampu jalanan, setelah seharian entah menjelajah mana.

Kami baru saja selesai makan malam, dan sekarang sedang minum teh santai sambil menatap layar hp masing-masing. Dia sibuk melihat pertandingan basket, sementara aku masih berusaha menulis. Kesukaan dan hobi kami memang berbeda, aku sama sekali tak suka olahraga, sementara dia benar-benar tak tertarik dengan urusan pena.

Melihat aku mengernyitkan dahi dari tadi, dia tiba-tiba masuk rumah dan keluar dengan sekotak kue nanas. Haha, itu yang aku suka darinya, selalu berbuat manis tanpa diminta.

Malam ini kami gagal lagi kencan keluar. Tapi menghabiskan waktu bersamanya, ditemani dengan sekotak kue nanas dan secangkir teh sudah terasa sempurna.

Bukankah demikian? Segala sesuatu akan terasa berbeda jika kita selalu berterima kasih atas keadaan kita. Kadang hidup tidak sesuai rencana. Kadang terlalu asam, asin atau terlalu pahit. Maka dari itu, saat semuanya terasa sesak, aku akan ingat saat ini. Saat aku mengambil nafas dalam, melihat bulan yang malu-malu, memakan kue dan minum teh bersamanya. Sempurna.

Senin, 18 Februari 2019

My First of 30 Days Diary Challenge

Hari Senin memang biasa terasa panjang. Bahkan setelah membereskan rumah dan mengeringkan pakaian, aku masih punya banyak waktu santai.

Seperti siang tadi, saat aku keluar dan duduk di balkon lantai dua. Aku memperhatikan dua pot tanaman gantung yang dibiarkan menggantung menjulur ke bawah, menuruni dinding ruang tamu. Tanahnya baru saja diganti kemarin, dan warnanya yang merah kecoklatan sangat kontras dengan warna hijau daunnya yang lebat. Menyenangkan untuk dilihat.

Apa yang aku suka di balkon rumah adalah aku bisa bebas melihat pemandangan sekitar. Di dekat rumah jelas terlihat hamparan ladang tebu dan sawah yang luas hingga bertemu kaki gunung Muria di sebelah utara. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku bahwa aku akan tinggal disini, di kota kecil dengan pemandangan luar biasa seperti ini. Hingga beberapa bulan lalu, pemandangan yang kulihat jauh berbeda. Yang ada adalah gemerlap lampu dan hiruk pikuk jalan diiringi lantunan musik-musik dari kafe yang bahkan buka hingga 24 jam. Kehidupan yang aku jalani jauh berbeda. Dulu, pulang kerja jam 9 malam dan berangkat jam 5 pagi adalah hal biasa. Sementara sekarang, aku bisa duduk santai makan sereal sambil mengagumi pemandangan pukul 3 di sore hari. Tidak aku pungkiri, terkadang aku rindu kehidupanku yang sibuk. Punya rasa bangga sebagai wanita karir, dan merasa bisa melakukan apa saja. Tapi jika dipikirkan lebih dalam, kehidupanku sekarang juga sama hebatnya. Aku bangga bisa melepas egoku, sehingga sekarang aku bisa melihat senyum lelakiku setiap pagi.

Rencana Allah memang tidak bisa ditebak, tapi selalu indah.
Sama seperti hari Seninku.