"Assalamualaikum, Rin.. mba menyampaikan kabar, kalau Mbah Uti baru saja meninggal."
Telfon singkat dari mba Ana siang tadi masih terdengar jelas di telingaku. Dengan badan yang masih gemetar, aku langsung pulang ke Jepara. Alhamdulillah meski tidak sempat melihat wajah Mbah Uti sebelum dimandikan dan dikafani,baku masih sempat mengantar Mbah Uti berangkat ke peristirahatan terakhirnya.
Akhirnya disinilah aku, duduk menepi di barisan belakang orang-orang yang membacakan tahlil dan surat Yasin untuk Mbah Uti. Mataku menelusur memandang kursi teras yang biasa diduduki beliau. Tepat sebulan lalu aku masih mencium tangan Mbah Uti disana. Mbah Uti duduk sementara cucu-cucunya duduk melingkar di bawahnya. Mbah Uti memandang kami, sambil memakan bapia keju, oleh-olehku dari Jogjakarta. Kala itu aku sama sekali tidak berfikir kalau itulah saat terakhirku bisa melihat Mbah Uti.
Saat aku menulis ini, aku merinding.
Betapa usia adalah rahasia Allah yang tidak bisa ditebak kapan berakhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar